Hari Ibu dan Allo Pangnganreang Onde-Onde

IMG-20191222-WA0039

Setiap tanggal 22 Desember kalangan peranakan Tionghoa selalu merayakannya sebagai Hari Makan Onde-Onde, yang dalam bahasa Makassar kami menyebutnya Allo Pangnganreang Onde-Onde.

Tidak seperti hari-hari ritual lain yang selalu ditandai memakai kalender Imlek, sehingga tanggal Masehinya selalu berubah, Allo Pangganreang Onde-onde selalu di tanggal 22 Desember. Jadi yang satu ini unik sendiri. Entah kenapa ya?!

Continue reading

Tradisi A’cu’kuru’ Peranakan Tionghoa Makassar

cukuran peranakan 2Agar tidak penasaran, A’cu’kuru’ itu, adalah bahasa Makassar yang berarti memotong rambut atau bercukur.

Pada keluarga peranakan Tionghoa ada tradisi upacara memotong rambut bayi yang biasanya dilakukan ketika bayi berusia sebulan. Namun kata ibu saya, itu tidak mengikat. Saya selalu melakukannya ketika bayi saya berusia 40 hari. Continue reading

Kisah di Balik Semangkok Misoa

IMG-20170626-WA0016

Semangkuk misoa siap disantap

Adakah yang belum tahu apa itu misoa? Misoa itu semacam mie kering yang sangat halus, yang dibuat dari tepung terigu. Teksturnya sangat halus, mudah patah dan berwarna putih. Jika sudah dimasak menjadi sangat lembut, tidak seperti mie yang kenyal, makanya saya tidak pernah mengira dia terbuat dari tepung terigu. Karena mie tidak mudah patah, sehalus apa pun mienya.

Continue reading

Asyik, Akhirnya Saya Berkaos Ayam di Tahun Baru Imlek

img-20170209-wa0038

Penanggalan Imlek terdiri atas dua belas zodiak yang dilambangkan oleh simbol satwa yang disebut Shio. Saya shionya Ayam.

Ini dia urutan keduabelas Shio itu: Ayam, Anjing, Babi, Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing dan Monyet.

Sebetulnya saya tidak pernah bisa menghafal urutan shio-shio ini. Seorang Pastor Jesuit berinisial M, sangat pandai dengan urutan shio-shio ini. Saking hebatnya, beliau bisa menebak shio cukup dengan memberitahu tahun kelahiran. Beliau adalah orang Bule, mungkin Belanda, mungkin Belgia.

Pastor M. ini, pernah menertawakan saya, gara-gara saya tidak bisa makan memakai sumpit. Ini terjadi pada puluhan tahun silam sehabis rapat Dewan Pastoral,  alm. Mgr. Leo Soekoto SJ. mentraktir kami makan bakmi bersama di Wisma Keuskupan Jakarta.

Saya satu-satunya yang makan memakai sendok garpu, yang lain semua pada makan memakai sumpit. Padahal saya, satu-satunya orang Tionghoa. Hahaha…

Sepuluh tahun terakhir pakaian saya sehari-hari adalah kaos. Soalnya sejuk dan santai berkaos untuk orang berbobot berat. Maka jangan heran kaos saya cukup banyak, dari Waltz Disney, Sting sampai Shao Lim Temple.

Semua pemberian, tidak satu pun yang saya beli sendiri. Continue reading

Tahun Baru Imlek dalam Kenanganku

2016-02-07 21.54.25

Paling kiri Kakak ke-tiga, pemilik foto yang tampak kabur terkena banjir, bersama kakak nomor satu dan dua

Akhirnya tahun baru yang saya nanti-nantikan sudah tiba. Baba’ dan Amma’ (ayah dan ibu saya) pagi-pagi sekitar pukul enam, sudah rapih berpakaian bagus.

Kami anak-anak masih meringkuk malas untuk segera bangun. Kemarin kegiatan membungkus Ang Pao, ternyata melelahkan juga. Oh, bukan itu. Bermain air dan mencuci lantai yang telah menguras tenaga kami.

Tapi, sejujurnya bukan itu juga. Kami hanya malas saja. Bermalas-malasan bangun, tidak bisa bertahan lama. Kami dimarahi dan harus segera merapihkan diri.

Saat kami belum sepenuhnya rapih, tamu pertama Baba’ dan Amma’ sudah datang. Nah, lho…! Continue reading

Ketika Tahun Baru Imlek Tinggal Hitungan Hari

imlekBunyi gelegar guntur membangunkan saya dari tidurku yang pulas. Hujan turun dengan sangat derasnya, membuat saya sulit untuk kembali tidur.

Daripada melamun sia-sia, mending saya ketik apa yang terlintas di pikiranku.

Seperti sudah saya katakan, hujan selalu mengingatkan saya akan suasana sekitar Tahun Baru Imlek di rumahku di Makassar. Nah, malam ini rupanya ceritera saya yang terputus, bisa saya lanjutkan. ( Baca Kenangan Masa Kecil Menjelang Tahun Baru Imlek ).

Bila tahun baru tinggal beberapa hari, biasa nya kami kedatangan seorang tamu, yaitu  bekas karyawan Baba’ (sebutan untuk ayah kami) Baco’ Lompo panggilannya. Bila dia datang selalu membawa oleh-oleh, terutama lemo Silayara’ (jeruk Selayar). Ini dia jeruk yang paling enak yang pernah saya rasakan pada masa itu. Setelah membongkar oleh-olehnya, dia langsung mencari kain lap dan asam Jawa.

Lho…untuk apa, ya?! Continue reading

Burung Elang Itu, Kembali…

Mungkin karena pengaruh usia yang bertambah dan banyaknya waktu untuk diri sendiri, maka saya jadi sering teringat pengalaman masa lalu.

Sebagai kanak-kanak, masa lalu yang penuh keterbatasan – jika dibandingkan dengan anak masa sekarang yang sepertinya punya segalanya- saya lebih menyukai masa kecilku.

Sebagai kanak-kanak saya sungguh menikmati masa itu. Saya bisa bermain dengan bebas dan saya bisa belajar dengan santai, tidak seperti anak sekarang. Di usia dini mereka sudah tergenjot untuk bersaing. Ada kursus ini, kursus itu, les-les tambahan dan lain-lain. Mereka bermainnya pun hanya di belakang meja…, meja komputer.

Banyak yang sudah berubah. Kemajuan teknologi makin pesat. Bumi dan alam semesta juga mengalami perubahan. Sayang, perubahannya banyak yang ke arah negatif.

Banyak flora dan fauna yang sudah menghilang, akibat ulah manusia.

Ketika masa sekolah dasar dan menengah, pelajaran menggambar selalu ada gunung, langit biru, awan putih dan burung elang. Sekarang langit berkabut polusi, burung-burung elang sudah langka dan hampir tidak terlihat lagi.

Zaman dahulu, dari teras lantai dua rumah kami, bila memandang ke Timur akan terlihat gunung. Ini di kota Makassar, lho. Kata kakak saya, “Itu gunung Latimojong.” Benar atau tidak, saya tidak pernah mengeceknya.

Rumah kami, adalah salah satu rumah di China Town kota Makassar. Teras atas rumah itu kami sebut langkang, entah berasal dari bahasa apa. Begitulah Peranakan Tionghoa Makassar menyebutnya.

Di langkang kami yang luas itu banyak kegiatan berlangsung, dari menjemur pakaian, bermain dendedende, main layangan, apa saja. Ibu saya menanam tomat dan bunga dahlia, saya menanam melati dan bunga mawar yang sangat wangi.

Walau kami anak-anak bebas bermain, namun kami juga sering diberi tugas. Mau tahu tugas apa saja?
Continue reading

Bernazar, Na Ni Pa’ Singtinggi Bulaeng

Ketika membaca postingan saya  Membayar Nazar Dengan APaSingtinggi Apang, kakak saya menambahkan sebuah kisah ni pa‘:singtinggi yang lain, kali ini ni pasingtinggi bulaéng.

Bulaéng dalam bahasa Makassar berarti emas, jadi ni pasingtinggi bulaeng adalah batangan emas dibuat menyamai tinggi orang yang dinazarkan.

Inai tau na ni pasingtinggi bulaéng?

Siapa yang dinazarkan? Continue reading

Peh Cun dengan Bacang Street Festival…

Peh Cun adalah Ritual dan Festival Tradisi Masyarakat Tionghoa yang diperingati setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.

Koecang alias bacang (sumber: pribadi)

Koecang alias bacang (sumber: pribadi)

Di kalangan masyarakat Peranakan Tionghoa Makassar, Peh Cun disebut Allo Pangnganreang Koecang. Koecang atau Bacang, adalah makanan spesifik yang di hidangkan pada perayaan Peh Cun. Bacang ini dibuat dari beras atau beras ketan yang diisi daging, lalu dibungkus dengan daun bambu. Peh Cun di Makassar, pada tempo dulu hanya dirayakan di klenteng berupa paka’do’ koecang dan di rumah masing-masing keluarga yang tidak bersembahyang ke kelenteng. Lain halnya di daerah lain, ada beragam kegiatan lain selain bersembahyang, namanya juga festival! Continue reading