Aubade 17 Agustus Membantu Pembentukan Karakter

Memasuki bulan Agustus dan melihat penjual bendera di pinggir jalan, selalu mengingatkan saya kembali ke masa kecil.

Di Makassar pada masa itu, belum ada penjual bendera di jalan-jalan. Namun begitu memasuki  bulan Agustus, itulah waktu yang saya tunggu-tunggu. Mengapa?

Karena berarti masa mulai latihan untuk Aubade akan segera dimulai.

Mungkin ada yang belum tahu, apa itu Aubade? Katanya sih, Aubade berarti nyanyian pagi. Memang Aubade selalu dilangsungkan pada pagi hari.

Pertama kali saya mengikuti Aubade ketika saya berusia sepuluh tahun. Ketika itu saya bersekolah di Hwa Chiao 2, sekolah berbahasa Mandarin. Sekolah ini terletak di jantung China Town di kota Makassar, tepatnya di Jalan Lombok. Kalau tidak salah, sekarang menjadi Kelenteng.

Begitu memasuki bulan Agustus, kami pasti mulai sibuk latihan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Saya tidak menulisnya, semua pasti tahu lagu perjuangan.

Walau sekolah kami berbahasa Mandarin atau lebih tepatnya disebut Sekolah Cina pada waktu itu, namun hal-hal yang menyangkut peristiwa nasional selalu diperhatikan oleh pengurus sekolah. Teristimewa menyangkut Hari Kemerdekaan Indonesia, walaupun kami juga merayakan Hari Kemerdekaan Taiwan, karena sekolah saya itu pengikut Kuomintang.

Lagu-lagu perjuangan selalu dilatih terlebih dulu di sekolah, kemudian baru latihan kolektif bersama sekolah-sekolah lain, termasuk sekolah negeri.

Waktu pertama mengikuti latihan sangat sulit rasanya tapi itu tidak menyurutkan semangat kami untuk berlatih. Dari sekolah, kami jalan berbaris ke tempat latihan yang letaknya lumayan jauh. Kalau tidak salah di Jalan Gunung Batu Putih.

Kami latihan sekitar lima enam kali, sampai pelatih merasa puas.

Aubade dilaksanakan di Gubernuran Makassar, tepat pada Hari Proklamasi 17 Agustus.

Saya sangat bangga bisa bernyanyi di sana, diantara ratusan pelajar atau apa ribuan ya. Tidak jelas, soalnya ini ingatan dari seorang anak kecil enam puluhan tahun silam.

Saya sempat ikut Aubade, empat atau lima kali. Hebat, kan?! Lagu-lagu perjuangan yang kami nyanyikan, lirik maupun iramanya sangat membekas di hatiku. Sangat sulit buat kami untuk menghafal lagu-lagu tersebut. Kami hayati dengan penuh perjuangan sampai bisa. 

Mungkin karena sulitnya perjuangan untuk menghafal lagu-lagu itu, apalagi untuk mengerti arti liriknya, maka lagu-lagu itu akhirnya betul menempa semangat cinta Tanah Air. 

Bayangkan di rumah saya berbahasa Makassar, di sekolah berbahasa Mandarin, lalu harus belajar bernyanyi lagu berbahasa Indonesia. Untung pelatih kami sabar dan baik. Kelak setelah saya remaja dan bersekolah di SGA ( Sekokah Guru Atas), saya berjumpa lagi dengan pelatih Aubade itu Bapak Leo Ch. Gaspersz (semoga saya tidak salah mengeja nama beliau), guru Ilmu Jiwa kami. Ternyata, sebagai guru beliau sangat tegas, jadi tidak terlalu sabar, hehe… seperti penilaian saya semula, namun beliau betul memang baik. Beliau memang pantas menjadi guru Ilmu jiwa, sebab pada saat melatih Aubade beliau sangat sabar karena mengerti yang dilatih banyak anak dari Sekolah Mandarin. 

Lagu pertama yang saya kuasai Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa Kita dan Berkibarlah Benderaku. Pasti pengaruh kedua lagu ini, yang membuat saya sangat peka soal Kebangsaan.

Semoga secuil kisah ini bisa menggugah Semangat Persatuan dan Cinta Tanah Air. Dirgahayulah Bangsa dan Negaraku Indonesia !

Selamat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-71, Tujuh Belas Agustus 2016

Merdeka…!

Salam,

IMG